Selasa, 05 Januari 2016

Asal Usul Desa Kedewatan


(Paling kanan Bendesa Pakraman Kedewatan – Sang Putu Eka Pertama, SE.Ak, didampingi Ketut Mundel (Kelian), Dw Darmanda (Panitia) dan Dw Erawan (Petajuh)

 Mitologi, Legenda dan Sejarah Desa Kedewatan tidak dapat dipisahkan dari perjalanan Dharmayatra dan Tirtayatra Maha Rsi Markandhya, sekitar pertengahan Abad ke 8, dari Desa Damalung di kaki Gunung Adi Hyang (Pegunungan Dieng)  yang berlokasi dekat Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah menuju Gunung Raung (Propinsi Jawa Timur) dan disana melakukan tapa semadhi. Pada saat melakukan tapa semadhi beliau mendapatkan pawisik agar melanjutkan perjalanan dharmayatra dan tirtayatra ke arah Timur, menuju Gunung Agung di Bali Dwipa. Kemudian Rsi Markandhya mengikuti pawisik tersebut dengan berangkat menuju Gunung Agung dengan diiringi oleh 800 wong Aga , yang berasal dari Desa Aga di kaki Gunung Raung,  menyeberangi lautan dan berlabuh di Segara Rupek, Gilimanuk.
            Setelah tiba di kawasan hutan belantara di kaki Gunung Agung, pengikut Rsi Markandhya melakukan perabasan hutan. Setelah beberapa hari melakukan perabasan hutan, terjadi hujan lebat yang diiringi dengan angin kencang, guntur dan petir secara terus menerus selama 7 bulan. Saat terjadinya fenomena alam itu, juga diikuti oleh wabah yang banyak menelan korban jiwa diantara Wong Aga, pengikut Rsi Markandhya tersebut. Dari jumlah 800 orang pengikut pada saat pertama kali berangkat dari Desa Aga, setelah terjadi korban-korban meninggal diperjalan dan terakhir karena wabah, akhirnya masih tersisa sebanyak lebih kurang 200 orang pengikut. Menghadapi situasi dan kondisi yang demikian itu, akhirnya Rsi Markandya melakukan introspeksi dan melaksanakan brata semadhi. Melalui kekuatan batinnya, akhirnya disadari bahwa saat mulai merabas hutan, belum dilaksanakan Upacara Matur Piuning kehadapan Ida Bhatara To Langkir (Toh Langkir), yang berstana di agraning (puncak) Gunung Agung.
            Setelah memperoleh penerangan batin, dan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi maka disadari bahwa tidak mungkin dapat meneruskan misinya dengan sisa 200 orang pengiring. Akhirnya Rsi Markandhya kembali lagi untuk mencari pengiring ke Desa Aga dan desa-desa sekitarnya dikaki Gunung Raung dan berhasil mengumpulkan pengiring sebanyak 400 orang dan kembali melaksanakan misi spiritual menuju kaki Gunung Agung.
            Setelah tiba kembali di kawasan hutan kaki Gunung Agung, maka pertama-tama yang dilakukan oleh Maha Rsi adalah melaksanakan Upacara Matur Piuning dengan didasari oleh subhadiwasa atau pemilihan hari baik, dan dirangkaikan dengan upacara-upacara (wali) seperti persembahan caru (korban suci), upacara pemarisudha roh-roh para pengikut yang meninggal, upacara pemujaan tawur dan pemendeman pancadatu dilokasi yang disebut Basukihan, yang menjadi lokasi Pura Besakih sekarang. Kata Basuki sendiri, yang berasal dari bahasa Jawa Kuno, berarti selamat. Karena ditempat itu memohon keselamatan, dan memang terbukti memperoleh keselamatan dan kerahayuan. Sejak saat itu diyakini bahwa keselamatan dan keseimbangan alam lingkungan dan penghuninya didasari oleh pelaksanaan wali atau yadnya.
            Setelah melakukan tapa brata yoga semadhi dan tinggal beberapa lama di Basukihan (Besakih sekarang), Rsi Markandya bersama pengiringnya melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju kearah Neriti (Barat Daya) sambil melakukan perabasan hutan. Setelah menempuh perjalanan beberapa hari, akhirnya tiba disuatu kawasan yang ada sosok bukitnya melintang dari arah Selatan ke Utara. Di sebelah Barat dan Timur sosok bukit itu mengalir dua aliran sungai yaitu Tukad Yeh Wos Kiwa  (Barat) dan Tukad Yeh Wos Tengen (Timur) yang bertemu dan menyatu disebelah Selatan Gunung (Bukit) Lebah dan kemudian disebut Campuhan. Oleh Rsi Markandhya bersama para pengiringnya, ditempat itu dibangun sepelebahan parahyangan yang disebut dengan Pura Gunung Lebah.
            Dari Pura Gunung Lebah, rombongan terus menyisir ke Utara dan Barat Laut dan menemukan tempat yang utama (dahat apingit) di tengah hutan yang teduh dan memberikan ketenangan pikiran, lalu dibuatlah tempat untuk Peyogan, untuk melaksanakan tapa  yoga - semedhi, dan sekarang dikenal dengan Pura Pucak Payogan, sedangkan kawasan sekitarnya diberi nama Luhungsiakan (sekarang Lungsiakan) yang artinya tempat utama yang memberikan ketenangan pikiran, dan sekarang merupakan salah satu Banjar dan Desa Pakraman di  wilayah Desa Kedewatan. Demikian juga disekitar pura pucak payogan tersebut berdiri pemukiman baru yang dinamakan Banjar dan sekaligus Desa Pakraman Payogan yang merupakan wilayah Desa Kedewatan juga.
Dari tempat pe-yoga-an tersebut, rombongan melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju ke Utara dan menemukan tempat yang dinamakan Sarwada (Desa Taro sekarang), lalu mendirikan tempat pemujaan. Dari Sarwada rombongan menuju ke Barat Daya dan tiba disuatu tempat, yang memiliki getaran dan kekuatan spiritual, lalu hutan dirabas dan dibangun pasraman yang disebut Pasraman Amurwa serta dibangun juga parahyangan, yang kemudian dikenal sebagai Pura Dalem Murwa. Selain itu, dibangun juga parahyangan yang bentuknya panjang kemudian ditetapkan sebagai Pura Desa dan Bale Agung. Karena ditempat ini dibangun beberapa parahyangan (para Hyang berstana) sehingga tempat ini dinamakan Parahyangan (Payangan).
           Dari Parahyangan (Payangan) Maha Rsi melanjutkan lagi misi spiritualnya menuju ke Selatan dekat sekali dengan tempat pe-yoga-an (Pucak Payogan) yang beliau buat, suatu tempat yang indah memancarkan sinar bagai tempat para dewata berstana, yang disebutnya sebagai Ke-dewata-an, dan lama kelamaan disebut Kedewatan. Tempat pemujaan yang dibangun dinamakan Pura Pucak Ke-dewata-an dan sekarang dinamakan Pucak Swargan, dan disebelahnya masyarakatnya membangun Pura Dalem yang dinamakan Pura Dalem Swargan.
  Desa Pakraman Kedewatan menurut sumber Riptaprasasti Lontar Markandya Purana. Meskipun catatan sejarah secara otentik belum ditemukan, tetap cukup memberikan gambaran sementara mengenai keberadaan dan asal-usul desa. Dengan pandangan manusia religius, nama Kedewatan memberikan keyakinan religius yang mendalam. Terutama untuk memenuhkan keyakinan dalam melaksanakan swadharma agama, sradha-bhakti.  

            Demikianlah sepintas sejarah Desa Kedewatan yang dirangkum dari beberapa tulisan, dan dasar penulisan tersebut bersumber dari Riptaprasasti, Lontar Bhwanatatwa Maharsi Markandhya dan Lontar Markandhya Purana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar