Kamis, 06 September 2018

Mandapa a Ritz-Carlton Reserve at Kedewatan,Ubud,Bali,Indonesia.

Mandapa a Ritz-Carlton Reserve at Kedewatan,Ubud,Bali,Indonesia.
Like its Sanskrit namesake, Mandapa, a Ritz-Carlton Reserve offers hotel guests a “temple” of their own, a sanctuary for inner exploration and tranquility. Set along the Ayung River in Bali’s cultural heart of Ubud, the hotel offers luxury, butler-attended villas and suites; vintage VW convertible tours of villages, rice fields and temples; and dining including the signature Kubu, featuring Mediterranean-European cuisine and private cocoons. 
RCMANDA_00171_tile.png

ULTIMATE ROMANCE PACKAGE

An unforgettable romantic escape featuring a Vintage Tour, a romantic dinner and a relaxing spa treatment designed for couples.
Learn More
RCMANDA_00169.jpg

WELLNESS RETREAT

Begin a journey towards optimal well-being and serenity with an immersive wellness retreat designed to reset your metabolism.
Learn More
RCMANDA_00173.jpg

REMARKABLE WEDDING

With rolling hills, a gentle river and verdant rice paddies as a backdrop, the resort offers a naturally beautiful setting for a destination wedding.

http://www.ritzcarlton.com/en/hotels/indonesia/mandapa#Hotel

Kamis, 26 Januari 2017

Warung Kayana

Warung Kayana

Lokasinya terletak di daerah Kedewatan Ubud yang sangat terkenal dengan Nasi Ayam khas Balinya membuat tempat sederhana ini menjadi pembeda dengan tempat kuliner yang banyak tersebar di sepanjang area ini. Depan warungnya terdapat panggangan BBQ yang menandakan tempat ini menyediakan special menu tersebut. Dan tidak salah kami mencoba beberapa menu mereka. Foodlovers yang menyukai ribs pasti akan menyukai tempat ini. Harganya sangat terjangkau dan rasanya enak. Menu lainnya yang dapat juga kami sarankan ada Nasi Goreng, Ayam Bakar/Goreng, Tenderloin Steak, Pork Chop, Sausage Bakar/Goreng dan Hot Dog. Dan semua menu tersebut bisa ditebus dengan harga rata rata dibawah 50 Ribuan. Menarik bukan, silakan foodlovers mampir dan mencicipinya secara langsung.
WARUNG KAYANA
JL Raya Kedewatan Ubud

Selasa, 12 Januari 2016

Rafting (Ayung Jeram)

Jika kalian suka dengan wisata yang exstrim dan menantang anda bisa mencoba wisata Rafting(Ayung Jeram). Jika anda ingin mencoba wisata ini anda bisa berkunjung ke Desa Kedewatan, ada banyak tempat yang menyediakan wisata ini. Berikut tempat yang menawarkan wisata ini di Desa Kedewatan:

SOBEK



Sari Profit




Bali Adventure



Toekad



Nah.....Banyak pilihan wisata rafting di Desa Kedewatan,ayo segera coba wisata yang menantang ini.




Akomodasi di Kedewatan

       Jika anda berlibur dan berkunjung ke Desa Kedewatan anda bisa bermalam di salah hotel yang ada di Desa Kedewatan. Banyak hotel berbintang yang berkelas di Desa Kedewatan diantaranya sebagai berikut:

KupuKupuBarong

                     
                  



TheRoyalPitaMaha


Amandari

Mandafa



Sebegitu indahnya Desa Kedewatan sehingga banyak hote-hotel di bangun di sini.Pokoknya anda tidak akan kesulitan mencari penginapan di Desa Kedewatan.



Selasa, 05 Januari 2016

    


NASI AYAM KEDEWATAN



Jika anda berkunjung ke Kedewatan sempatkanlah mampir ke salah satu warung Nasi Ayam Kedewatan....Kuliner khas Kedewatan.


Sedikit wawancara yang di dapat dari salah satu pemilik warung Nasi Ayam Kedewatan:


       Sang Ayu Ketut Metri, 75 tahun mengaku ketika pertama membuka warung itu saat berusia 25 tahun keadaan di Kedewatan masih serbi, alias di pelosok. Tak ada akses ke Denpasar atau ke Ubud seperti sekarang ini.

 “Waktu itu saya memulainya dengan menjual nasi dengan lauk telur pindang, yang direbus dengan ramuan serai dan kunyit, itupun masih pula dibelah dua agar harganya tidak mencekek pembeli yang kebanyakan petani,” tutur ibu 2 anak dan nenek 5 cucu ini. Setelah 10 tahun menjual nasi dengan telur pindang Metri kemudian meningkat menjual nasi ayam. “


     Kala itu seekor ayam harganya hanya Rp 500, itupun dalam sehari yang laku terjual separonya saja, keesokan harinya masih bisa dijual lagi karena saya memasaknya secara khusus,” ungkapnya. 

     Resep itulah yang sampai sekarang masih dipertahankan sebagai ciri khas nasi ayam Kedewatan. Dia berbeda dengan ayam betutu, ayam sorry, atau ayam kare dan ayam goreng. Bumbunya menggunakan base genep. Yang terdiri dari lengkuas, kunyit, jahe, mereca, ketumbar, cengkeh, kapulaga, mesui, jangu, bawang, kesuna atau bawang putih, serai.
      “Semua bumbu bukannya digiling atau ditumbuk, tapi dirajang halus diatas talenan, kemudian seluruh bumbu dimasukkan dalam rongga dada ayam yang dipotong tanpa membelahnya,” ucapnya. 

      Bumbu inilah yang kemudian akan meresap setelah dilakukan pemasakan dengan cara mengukusnya dengan api kecil selama 5 jam. Berbeda dengan ayam betutu yang mesti dibungkus dengan pelepah pinang, ayam bumbu genep ala Kedewatan dikukus sehingga kulitnya tidak secoklat ayam betutu.


      Ayam yang digunakan ayam petelur merah tapi yang belum pernah bertelor, bukan ayam kampung. Karena dagingnya lebih empuk dan harganya lebih murah. Sekarang ini warung Mardika memasak sekitar 50 ekor ayam dalam seharinya. Harga perekornya tak sampai Rp 30.000.


     “Saya tetap berjualan dengan cara memikirkan harga tetap terjangkau, seperti sejak awal warung ini dibuka, sekarang sepiring nasi tak sampai Rp 15.000 untuk semua kalangan,” ungkapnya.

Nah... jika anda berkunjung ke Kedewatan jangan lupa mampir ke salah satu warung Nasi Ayam Kedewatan, dijamin anda Pasti akan ketagihan..



KEDEWATAN
PITEGES PRALAMBANG
DESA PAKRAMAN KEDÉWATAN

(1). NAGA KEKALIH TURMANING UNTATNYANÉ MAKILIT.
Mapiteges : Ring sajeroning kauripan puniki tan maren muatang artha brana pinaka piranti anggén nyujur kasukertan sekala muang niskala, madasar antuk dharma (dharma, artha, kama).
(2). BEBUNDERAN/BUNTERAN MAWARNI SELEM LAN PUTIH.
Mapiteges : Rwa binédha, sapasira ugi ring sajeroning kauripan tan prasida lémpas sakéng iwang - patut, kawon - becik, suka - dukha, mreta - amreta (dharma lan adharma).
(3). CAKRA.
Mapiteges : Palinceran bhuwana pinaka cihna pakibeh kauripan sané tan langgeng, satuwuk nglimbak nganutin aab jagat.
(4). BEDAWANG/EMPAS.
Mapiteges : Gumi, jagat utawi wewidangan (parhyangan, pawongan lan palemahan).
(5). SLÉNDANG MASURAT "SULUH KERTANING BUMI".
Mapiteges : Tali pangiket sajeroning pasubayan ring pakraman. Nyujur petitis Sanghyang Agama : Mokûartam Jagadhita ya ca iti dharma.

Piteges maka sami Pralambang ring ajeng sakadi puniki :
Awig-awig lan pararem Désa Pakraman Kedéwatan pinaka suluh lan sepat siku-siku utawi piranti kaanggén nyujur kasukertan jagat sekala niskala, madasar antuk Tri Purusartha, nyujur subiksaning bhuwana, wastu prasida ngamangguhang Mokûartam Jagadhita ya ca iti dharma.
Asal Usul Desa Kedewatan


(Paling kanan Bendesa Pakraman Kedewatan – Sang Putu Eka Pertama, SE.Ak, didampingi Ketut Mundel (Kelian), Dw Darmanda (Panitia) dan Dw Erawan (Petajuh)

 Mitologi, Legenda dan Sejarah Desa Kedewatan tidak dapat dipisahkan dari perjalanan Dharmayatra dan Tirtayatra Maha Rsi Markandhya, sekitar pertengahan Abad ke 8, dari Desa Damalung di kaki Gunung Adi Hyang (Pegunungan Dieng)  yang berlokasi dekat Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah menuju Gunung Raung (Propinsi Jawa Timur) dan disana melakukan tapa semadhi. Pada saat melakukan tapa semadhi beliau mendapatkan pawisik agar melanjutkan perjalanan dharmayatra dan tirtayatra ke arah Timur, menuju Gunung Agung di Bali Dwipa. Kemudian Rsi Markandhya mengikuti pawisik tersebut dengan berangkat menuju Gunung Agung dengan diiringi oleh 800 wong Aga , yang berasal dari Desa Aga di kaki Gunung Raung,  menyeberangi lautan dan berlabuh di Segara Rupek, Gilimanuk.
            Setelah tiba di kawasan hutan belantara di kaki Gunung Agung, pengikut Rsi Markandhya melakukan perabasan hutan. Setelah beberapa hari melakukan perabasan hutan, terjadi hujan lebat yang diiringi dengan angin kencang, guntur dan petir secara terus menerus selama 7 bulan. Saat terjadinya fenomena alam itu, juga diikuti oleh wabah yang banyak menelan korban jiwa diantara Wong Aga, pengikut Rsi Markandhya tersebut. Dari jumlah 800 orang pengikut pada saat pertama kali berangkat dari Desa Aga, setelah terjadi korban-korban meninggal diperjalan dan terakhir karena wabah, akhirnya masih tersisa sebanyak lebih kurang 200 orang pengikut. Menghadapi situasi dan kondisi yang demikian itu, akhirnya Rsi Markandya melakukan introspeksi dan melaksanakan brata semadhi. Melalui kekuatan batinnya, akhirnya disadari bahwa saat mulai merabas hutan, belum dilaksanakan Upacara Matur Piuning kehadapan Ida Bhatara To Langkir (Toh Langkir), yang berstana di agraning (puncak) Gunung Agung.
            Setelah memperoleh penerangan batin, dan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi maka disadari bahwa tidak mungkin dapat meneruskan misinya dengan sisa 200 orang pengiring. Akhirnya Rsi Markandhya kembali lagi untuk mencari pengiring ke Desa Aga dan desa-desa sekitarnya dikaki Gunung Raung dan berhasil mengumpulkan pengiring sebanyak 400 orang dan kembali melaksanakan misi spiritual menuju kaki Gunung Agung.
            Setelah tiba kembali di kawasan hutan kaki Gunung Agung, maka pertama-tama yang dilakukan oleh Maha Rsi adalah melaksanakan Upacara Matur Piuning dengan didasari oleh subhadiwasa atau pemilihan hari baik, dan dirangkaikan dengan upacara-upacara (wali) seperti persembahan caru (korban suci), upacara pemarisudha roh-roh para pengikut yang meninggal, upacara pemujaan tawur dan pemendeman pancadatu dilokasi yang disebut Basukihan, yang menjadi lokasi Pura Besakih sekarang. Kata Basuki sendiri, yang berasal dari bahasa Jawa Kuno, berarti selamat. Karena ditempat itu memohon keselamatan, dan memang terbukti memperoleh keselamatan dan kerahayuan. Sejak saat itu diyakini bahwa keselamatan dan keseimbangan alam lingkungan dan penghuninya didasari oleh pelaksanaan wali atau yadnya.
            Setelah melakukan tapa brata yoga semadhi dan tinggal beberapa lama di Basukihan (Besakih sekarang), Rsi Markandya bersama pengiringnya melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju kearah Neriti (Barat Daya) sambil melakukan perabasan hutan. Setelah menempuh perjalanan beberapa hari, akhirnya tiba disuatu kawasan yang ada sosok bukitnya melintang dari arah Selatan ke Utara. Di sebelah Barat dan Timur sosok bukit itu mengalir dua aliran sungai yaitu Tukad Yeh Wos Kiwa  (Barat) dan Tukad Yeh Wos Tengen (Timur) yang bertemu dan menyatu disebelah Selatan Gunung (Bukit) Lebah dan kemudian disebut Campuhan. Oleh Rsi Markandhya bersama para pengiringnya, ditempat itu dibangun sepelebahan parahyangan yang disebut dengan Pura Gunung Lebah.
            Dari Pura Gunung Lebah, rombongan terus menyisir ke Utara dan Barat Laut dan menemukan tempat yang utama (dahat apingit) di tengah hutan yang teduh dan memberikan ketenangan pikiran, lalu dibuatlah tempat untuk Peyogan, untuk melaksanakan tapa  yoga - semedhi, dan sekarang dikenal dengan Pura Pucak Payogan, sedangkan kawasan sekitarnya diberi nama Luhungsiakan (sekarang Lungsiakan) yang artinya tempat utama yang memberikan ketenangan pikiran, dan sekarang merupakan salah satu Banjar dan Desa Pakraman di  wilayah Desa Kedewatan. Demikian juga disekitar pura pucak payogan tersebut berdiri pemukiman baru yang dinamakan Banjar dan sekaligus Desa Pakraman Payogan yang merupakan wilayah Desa Kedewatan juga.
Dari tempat pe-yoga-an tersebut, rombongan melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju ke Utara dan menemukan tempat yang dinamakan Sarwada (Desa Taro sekarang), lalu mendirikan tempat pemujaan. Dari Sarwada rombongan menuju ke Barat Daya dan tiba disuatu tempat, yang memiliki getaran dan kekuatan spiritual, lalu hutan dirabas dan dibangun pasraman yang disebut Pasraman Amurwa serta dibangun juga parahyangan, yang kemudian dikenal sebagai Pura Dalem Murwa. Selain itu, dibangun juga parahyangan yang bentuknya panjang kemudian ditetapkan sebagai Pura Desa dan Bale Agung. Karena ditempat ini dibangun beberapa parahyangan (para Hyang berstana) sehingga tempat ini dinamakan Parahyangan (Payangan).
           Dari Parahyangan (Payangan) Maha Rsi melanjutkan lagi misi spiritualnya menuju ke Selatan dekat sekali dengan tempat pe-yoga-an (Pucak Payogan) yang beliau buat, suatu tempat yang indah memancarkan sinar bagai tempat para dewata berstana, yang disebutnya sebagai Ke-dewata-an, dan lama kelamaan disebut Kedewatan. Tempat pemujaan yang dibangun dinamakan Pura Pucak Ke-dewata-an dan sekarang dinamakan Pucak Swargan, dan disebelahnya masyarakatnya membangun Pura Dalem yang dinamakan Pura Dalem Swargan.
  Desa Pakraman Kedewatan menurut sumber Riptaprasasti Lontar Markandya Purana. Meskipun catatan sejarah secara otentik belum ditemukan, tetap cukup memberikan gambaran sementara mengenai keberadaan dan asal-usul desa. Dengan pandangan manusia religius, nama Kedewatan memberikan keyakinan religius yang mendalam. Terutama untuk memenuhkan keyakinan dalam melaksanakan swadharma agama, sradha-bhakti.  

            Demikianlah sepintas sejarah Desa Kedewatan yang dirangkum dari beberapa tulisan, dan dasar penulisan tersebut bersumber dari Riptaprasasti, Lontar Bhwanatatwa Maharsi Markandhya dan Lontar Markandhya Purana.